Beda lulusan S1, S2 dan S3
adalah cara berpikirnya yang berbeda. Sayang sekali jika anda
mengeluarkan uang dan membuang waktu untuk belajar tanpa mampu mengukur
dan mengetahui apa yang sebenarnya
anda didapatkan di bangku perguruan
tinggi.
S1 / Sarjana.
Saat anda menempuh pelajaran
di untuk meraih gelar di strata 1, anda membangun landasan (dasar-dasar)
akademis dan pengenalan terhadap jurusan / bidang study anda. Karena
itu di semester-semester awal anda diwajibkan mengambil General
Education (untuk yang belajar di Amerika), atau ilmu-ilmu dasar (untuk
yang sekolah di Indonesia). Misalnya Matematika dasar, Ilmu Alam dasar,
Dasar-dasar Ilmu sosial, Filosofi dan Kewiraan (mungkin yang ini sudah
tidak ada sekarang), dan sebagainya. Anda belajar untuk menjadi seorang
intelektual, bagaimana berpikir dari sisi keilmuan dan akademis.
Kemudian di semester-semester lanjut (Sophomore, Junior dan Senior untuk
di AS, semester 3-akhir untuk di Indonesia), anda belajar mengenai
jurusan anda. Mulai dari tidak tahu, menjadi tahu. Misalnya, jika
jurusannya teknik elektro, tadinya saat lulus SMA tidak tahu sama sekali
mengenai generator, trafo, motor, jaringan transmisi dan distribusi,
sistem-sistimnya, kini menjadi tahu. Demikian juga untuk ilmu lainnya.
Bedanya dengan D3, adalah D3 lebih jalur cepat, langsung ke praktisnya,
banyak ilmu2 pengenalan akademis tidak diajarkan di D3, karena D3
ditujukan untuk langsung praktek. Cara berpikir sistematis lebih
dimiliki lulusan S1 dibanding dengan lulusan D3.
Di pendidikan sarjana ada
pembuatan skripsi yang bertujuan untuk membentuk pola berpikir
sistematis : Pendahuluan, latar belakang, permasalahan, metodologi,
hipotesa, hasil penelitian, kesimpulan, saran, daftar pustaka. Semua itu
membentuk mahasiswa untuk berpikir secara sistematis dan metodologis.
jadi tidak "ngawur" dan lompat-lompat.
Pendidikan sarjana harusnya
mengajarkan khasanah ilmu yang ada sehingga ia menjadi orang yang
terdidik. Ia memiliki dan menguasai suatu disiplin atau metoda berpikir
di bidangnya. Ia memiliki pemahaman tentang dunia yang lebih tepat. Ia
juga bisa belajar bahan dan materi yang lebih sukar. Kemudian ia bisa
menerapkan ilmunya untuk persoalan-persoalan yang generik. Artinya jenis
persoalan yang memang sudah pernah diajarkan. Di Indonesia, lulusan S1
harus mendapat pendidikan spesifik lanjutan sesuai pekerjaan yang biasa
disebut dengan pendidikan pra jabatan yang diselenggarakan oleh pemberi
kerja seperti PLN, Telkom dll. Setelah itu, secara berkala, setiap
karyawan akan mendapat pendidikan / pelatihan sesuai dengan tingkat
beban pekerjaan yang dilakukannya.
Lulusan S1 harus "siap" memasuki dunia kerja yang beragam tapi masih berhubungan dengan bidang
studinya.
Lulusan S1 harus mengerti penjelasan
atas penyelesaian masalah yang disampaikan lulusan S2, baik secara langsung /
lisan atau yang sudah termuat di SOP / Standard Operating Procedure, mampu
membaca gambar teknik, untuk
diterapkan secara sistematis / step by step untuk dilaksanakan oleh pelaksana
dilapangan yang lulusan D3 atau lulusan STM.
S2 / Master.
S2 / master, lebih fokus.
Dibandingkan dengan S1 dan D3, S2 lebih fokus dalam jurusannya. Karena
itu lulusannya disebut Master. Master of Arts, Master of Business
Administration, Master of Fine Arts, Master of Science, Master of
Theology, Master of Divinity Science dsb. Mereka harus menguasai bidang
yang mereka pelajari. Kali ini mereka tidak mempelajari hal-hal dasar
lagi, tapi sudah lebih lanjut. Karena itu, jika anda ingin mengambil S2,
harus jelas dan fokus apa maunya. Sebab kalau tidak, anda tidak akan
menjadi master dalam bidang anda itu.
S2 lebih ke arah strategis,
S1 dan D3 lebih taktis. Jika anda perhatikan ada perbedaan cara berpikir
antara lulusan S2 dan S1 ataupun D3. S2 lebih memikirkan hal-hal yang
sifatnya strategis dan akibatnya, lebih jauh ke depan. Karena itu
lulusan S2 biasanya mendapat pekerjaan dengan posisi yang lebih tinggi,
dibandingkan S1 ataupun D3. Lulusan S1 lebih banyak di tingkat taktis,
oleh karena itu biasanya mereka berada di lapangan dan mengerjakan
hal-hal yang taktis, bukan strategis. Lulusan D3, lebih taktis lagi,
biasanya dibagian-bagian lapangan, dan sifatnya praktis.
Dalam ruang kelas pendidikan S2,
peserta program master selalu diberi banyak sekali studi kasus / masalah, sesuai
bidangnya, untuk diselesaikan. Sehingga di pekerjaan, mereka cenderung
untuk menyelesaikan masalah-masalah. Tentu saja yang di maksud adalah
kasus-kasus yang belum pernah terjadi dan belum ada buku panduan untuk
menyelesaikannya. Tugas si master inilah untuk membuat buku panduan / SOP /
Sistem Operational Procedure / Buku pintar, yang akan jadi panduan bagi tamatan
S1, tamatan D3 dan tamatan STM untuk melakukan pekerjaan di lapangan. S1 sendiri
bertanggung jawab untuk mempunyai kemampuan membaca gambar teknik atau menerima
penjelasan dari master untuk menyelesaikan masalah, kemudian membuat
langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan pelaksana D3 dan STM untuk
menyelesaikan masalah.
Lulusan S2 harus bisa mendesain dan menginovasi solusi baru.
Lulusan S2 harus siap berinovasi dalam profesi.
S3 / Doktor.
PhD adalah jenjang pendidikan
untuk peneliti atau orang-orang yang akan mengambil jalur akademis,
misalnya menjadi dosen atau guru atau orang bekerja dalam bidang riset
seperti LIPI. Seorang doktor diharapkan menghasilkan berbagai penemuan
baru melalui penelitian-penelitiannya, karena itu biasanya ukuran
keberhasilan mereka adalah makalah yang dipresentasikan dan yang
dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah di bidang mereka / di institusi
mereka. Doktor / Peneliti adalah orang yang senang mencari kemudian
memodifikasi pengetahuan baru. Jadi syarat utama seorang doktor
sebenarnya adalah keinginan untuk merenungi, memahami, meneliti, dan
menghasilkan suatu inovasi terhadap sebuah objek. Tanpa keinginan untuk
meneliti dan menulis, pendidikan doktoral sebenarnya sia-sia.
Para doktor dan mereka yang berpikir
seperti doktor seperti Steve Jobs, Bill Gates, Einstein, Newton, Thomas Alfa
Edison, akan mempelajari, merenungi dan melakukan penelitian untuk menemukan hal
/ masalah, yang bagi orang lain sebenarnya masalah itu tidak ada, tapi mereka
mempunyai kemampuan untuk "melihat" masalah yang tidak dapat dilihat
oleh orang lain. Setelah itu, mereka melakukan usaha, penelitian untuk mencari
solusi / jalan keluar dari hal / masalah yang dicoba untuk dilihatnya tadi. Misalnya 100 tahun yang lalu,
petani panen padi satu kali setahun. Para doktor atau pemikir ini mencoba
melihat masalah dalam objek ini, dalam hal ini, mereka "melihat"
kemungkinan petani bisa panen tiga kali panen padi setahun. Dalam tahap ini
mereka akan dianggap "gila", karena pada saat itu, panen padi hanya
satu kali setahun. Kemudian doktor atau pemikir itu melakukan penelitian,
misalnya dengan melakukan rekayasa genetika, menyinari padi dengan sinar
radioaktif sehingga gen si padi jadi ber-ubah sehingga pada akhirnya para doktor
mempublikasikan cara untuk bisa panen padi tiga kali setahun. Pada tahap ini
mereka akan dipuji dan dianggap jenius. Jadi, mungkin saja, "gila"
atau "dianggap gila" adalah tanda tanda atau jalan untuk mencapai
jenius. Copernicus beberapa abad yang lalu mengatakan bumi itu bulat padahal
semua orang pada zamannya mengatakan bahwa bumi ini tidak bulat alias datar. Ini
diyakini oleh Colombus dan Colombus bilang bahwa India yang ada di timur, dapat
dicapai jika kita berlayar ke barat. Sebelum pemikiran mereka menjadi kenyataan,
mereka dianggap gila oleh masyarakatnya, tapi bukankah ia sebenarnya adalah
jenius dan berpikir melebihi cara berpikir masyarakat yang hidup di zamannya.
Bukankah seorang doktor sudah seharusnya berpikiran jauh, melebihi cara berpikir
masyarakat lainnya di zaman-nya ?
Pendidikan doktoral (S3) dimaksudkan untuk menghasilkan peneliti.
Lulusan S3 harus siap meneliti dan mempublikasi pengetahuan
baru.
Sumber : http://www.elektranews.com/elektra/m-article/2013-02-10-beda-cara-berpikir-s1-s2-s3.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar